15 10 2016

DINAMIKA PEMILIHAN WAWAKO  PALEMBANG

Oleh:
Joko Siswanto
osen FISIP UNSRI

Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD pada dasarnya telah tamat sejak   pilkada dipilih langsung oleh rakyat  yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  Namun demikian, masih ada wewenang yang dimiliki DPRD untuk memilih wakil kepala daerah dan pasangan kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 108 sebagai berikut : ayat (1) dalam hal calon wakil kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah; ayat (2) kepala daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih; ayat 3) dalam hal kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon wakil kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah; ayat (4) kepala daerah sebagaimana dimaksud ayat (3) mengusulkan dua calon kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih; dan ayat (5) dalam hal pasangan calon terpilih berhalangan tetap, partai politik atau gabungan parpol yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari.

Ketentuan pasal 108 tersebut diatur lebih rinci dalam aturan pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah RI Nomor 49 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah. Dalam PP tersebut yakni pasal 97 ayat (3) menegaskan  bahwa dua calon wakil kepala daerah yang diusulkan kepala daerah ke DPRD untuk dipilih adalah usulan dari parpol atau gabungan parpol yang pasangannya memenangkan pilkada; atau jika kepala daerah berasal dari calon perseorangan, maka kepala daerah mengusulkan dua nama untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD (ayat 3a).

UU Nomo  32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah tidak berlaku yang digantikan oleh UU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU Nomor 2 tahun Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah menjadi Undang-Undang. UU Pemerintah Daerah tersebut mengalami perubahan kembali dengan UU No 9 tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2014. Tetapi khusus untuk pemilihan kepala daerah telah diatur dengan UU tersendiri yakni dengan UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU.

Dalam UU tersebut, DPRD juga masih diberi wewenang memilih  pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah jika berhalangan tetap sebagaimana diatur dalam pasal 174 dan pasal 176. Perbedaan yang menonjol adalah jika dalam UU Nomo 32 Tahun Tahun 2004 wakil kepala daerah yang akan dipilih oleh DPRD diusulkan parpol pengusung kemudian kepala daerah memilih dua calon  kepala daerah,  sedangkan dalam UU No 8 tahun 2015 tidak dinyatakan dengan tegas jumlah calon wakil kepala daerah yang diusulkan oleh parpol untuk calon wakil kepala daerah. Harapannya hal-hal tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah sebagaimana ketentuan pasal 176 ayat (3).

Sayang, fakta menunjukkan bahwa sampai sekarang PP dimaksud belum keluar sehingga kondisi ini menjadikan DPRD Kota Palembang mengalami kebimbangan dan kebuntuhan dalam mencari landasan hukum dan prosesnya menjadi panjang karena DPRD harus berkonsultasi berkali-kali dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mencari dasar pijakan yang kuat. Hasilnya, jika aturan baru belum ada maka aturan lama bisa dijadikan dasar bertindak DPRD untuk menyusun tata tertib pemilihan calon wakil walikota.

Kini proses pemilihan wakil walikota tinggal melaksanakan pemilihan/voting  oleh DPRD. Suka atau tidak suka dua calon telah dipilih oleh Walikota sebagai calon wakil walikota dari empat bakal calon. Dua calon wakil walikota dimaksud adalah Fitrianti Agustinda kader PDIP yang duduk sebagai anggota DPRD Kota Palembang yang  diusulkan Fraksi PKS dan PPP, Suhaili Ibrahim diusulkan oleh Fraksi PKS. Jauh-jauh hari sebelumnya telah didaftarkan Yudha Rinaldi   yang diusulkan Fraksi PDIP dan Yudi  Farola Bram yang diusulkan Fraksi PAN. Hanya Fraksi Demokrat sebagai parpol pengusung pasangan kepala daerah terpilih yang tidak mengusulkan nama calon wakil kepala daerah.

Untuk menentukan dua nama tersebut di atas, tentu bukan pekerjaan mudah bagi Walikota Harnojoyo karena banyak hal yang dipertimbangkan, harus memikirkan, melihat berbagai kepentingan secara jeli, kalkulasi untung rugi dari sisi kepentingan politik saat ini dan mendatang, kepentingan sebagai pribadi dan walikota yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, wajar jika ada yang berpendapat Walikota lambat dalam mengambil keputusan untuk itu.

Tampaknya dan gejalanya, Harnojoyo sebagai walikota tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh Romi Herton yang masih berperan besar dan berpengaruh sangat kuat dalam pelaksanaan pemerintahan dan politik di Kota Palembang.  Walikota Harnojoyo  sebagai manusia dan pribadi tentu ada perasaan hutang budi, kasihan dan merasa tidak etis jika tidak bisa berbuat sesuatu untuk Romi Herton yang saat ini sedang menjalani hukuman. Sedangkan  dirinya bisa menikmati kursi walikota karena ajakan dan dampak dari tindakan Romi Herton.  Beban psikologis Harnojoyo tidak akan berkurang manakala belum bisa memberi sesuatu sebagai bentuk balasan. Kesempatan terbaik untuk balas budi politik dan pribadi hanya bisa dilakukan saat ini dengan memilih dua calon wakil walikota yang salah satunya adalah Fitrianti Agustinda anggota DPRD Fraksi PDIP yang tidak lain adalah adik kandung Romi Herton.

Alasan pribadi dan politik balas budi tersebut aromanya sangat kuat sehingga bisa mematahkan alasan kelembagaan yakni dengan tidak meloloskan Yudha Rinaldi yang sejak awal sudah diusulkan oleh PDIP yang disetujui dan direstui Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Lazimnya dan biasanya, calon apapun khususnya calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang telah mendapat restu dan perintah dari Ketua Umum PDIP, lebih-lebih saat ini PDIP sebagai parpol pemerintah, tidak ada yang berani menolak. Tetapi kali ini seorang Harnojoyo berani melawan  keputusan Megawati. Hal ini bisa diterjemahkan bahwa Romi Herton lebih berpengaruh dan lebih bermakna bagi Walikota Harnojoyo daripada Ketua Umum PDIP.

Kemudian dari sisi demokrasi yang menghargai suara mayoritas juga kurang diperhatikan. Kursi PDIP yang jumlahnya 9 anggota (kursi) mencerminkan dukungan masyarakat ke PDIP adalah paling besar dibandingkan partai pengusung lainnya seperti PAN (3 kursi), PKS (3 kursi) dan PPP (2 kursi). Dengan demikian jika usulan calon wakil walikota dari PDIP   diabaikan oleh Walikota bisa dimaknai bahwa Walikota telah mengabaikan mayoritas aspirasi masyarakat parpol pengusung.

Dengan demikian, kesan politik yang terbangun sangat kuat adalah bahwa Harnojoyo lebih mengutamakan tetap bisa menjalin hubungan baik secara pribadi dan politik dengan Romi Herton daripada kelembagaan dengan PDIP. Kendati untuk memperkuat alasan memilih Fitrianti karena dia toh juga kader PDIP, tetapi Fitrianti secara legal formal kelembagaan tidak diusulkan oleh PDIP. Dengan demikian, alasan ini dinilai kurang kuat dan cenderung sebagai sanggahan sekedar upaya untuk pembenaran keputusannya.

Sedangkan Suhaili Ibrahim yang dipilih sebagai calon wakil walikota oleh Walikota karena kemungkinan parpol pengusul dan yang bersangkutan bersedia untuk menjadi calon pendamping. Kehadiran calon dari PKS ini tidak bisa dibantah hanya untuk memenuhi kelengkapan persyaratan peraturanperundangan adanya dua calon. Jadi, Walikota mengusulkan Fitrianti dan Suhaili akan lebih menguntungkan secara politik dan pribadi daripada memilih Fitrianti dan Yudha atau Yudi apalagi meloloskan Yudha dan Yudi. Dengan model proses pencalonan seperti ini maka calon yang dinilai kuat dan diusung parpol pemenang dapat dikatakan kalah sebelum bertanding.

Jika dikaitkan dengan pilkada mendatang, hal yang dijadikan pertimbangan Harnojoyo memilih Fitrianti adalah jika wakil walikota yang terpilih Fitrianti maka Walikota Harnojoyo akan lebih bisa mengendalikan Fitrianti daripada jika Yudha atau Yudi yang terpilih. Posisi wakil walikota berpeluang besar untuk maju dalam pilkada mendatang. Dengan posisi wakil  walikota yang demikian strategis,  maka Harnojoyo sudah memberi kesempatan kepada Fitrianti kalau ingin maju dalam pilkada mendatang. Hal ini  bisa diterjemahkan sebagai upaya berbuat baik kepada Romi Herton. Seandainya Harnojoyo sendiri yang akan maju, maka masih bisa berpasangan dengan Fitrianti. Hal ini akan berbeda jika ia memilih Yudha atau Yudi yang diusulkan sebagai calon  wakilnya yang kemungkinan besar bisa menjadi kompetitornya,  ibarat memelihara anak macan. Lebih baik Yudha dan Yudi dikalahkan sebelum bertanding karena Walikota memang ada  kewenangan untuk itu. Dalam dunia peperangan ada ungkapan jika musuh atau yang dianggap musuh bisa dihancurkan di laut kenapa harus menunggu sampai daratan.

   Suka atau tidak suka tentang keputusan yang diambil Walikota, yang jelas tugas Walikota mengusulkan dua nama ke DPRD untuk dipilih sudah selesai. Sekarang bola panas sudah bergulir ke DPRD.   Tinggal menunggu sikap dan eksekusi DPRD. Untuk itu, ada beberapa skenario atau lebih tepat manuver dan dinamika yang bisa terjadi dalam proses pemilihan wawako oleh DPRD Palembang. Skenario atau manuver akan dikendalikan parpol yang kecewa karena calonnya gagal dipilih sebagai calon yakni PDIP dan PAN. Dalam dunia politik umumnya pantang mengalah dan kekalahan harus bisa dibalasnya.

Skenario yang akan dimainkan adalah berupaya agar pemilihan bisa gagal. Ketentuan peraturan perundangan khususnya dalam PP Nomor 49 tahun 2008 pasal 98 ayat (2) dinyatakan bahwa pemilihan yang dilakukan dalam rapat paripurna DPRD harus dihadiri ¾ (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD. Jumlah anggota DPRD Palembang adalah 50 orang anggota. Dengan demikian agar bisa memenuhi quorum  harus hadir 38  orang anggota. Jika tidak terpenuhi  maka batal dilaksanakan pemilihan.

Dasar pemikiran munculnya skenario ini karena PDIP dan PAN sangat kecewa calonnya gagal dipilih Walikota sebagai calon wakil walikota. PDIP sangat kecewa berat karena calon yang sudah disetujui Ketua Umum  diabaikan oleh Walikota dan Walikota lebih memilih kader PDIP yang tidak diusulkan oleh PDIP tetapi malah yang diusulkan oleh parpol lain. Harga diri PDIP sebagai parpol penguasa dilecehkan. Wajar jika PDIP marah, gerah dan meradang. Dalam dunia politik pada umumnya  tidak mengenal memaafkan jika belum bisa melakukan pembalasan dan perlawanan atau ada kompromi-kompromi lainnya. Jika PDIP (8 orang, mestinya 9 dikurangi Fitrianti) dan PAN (3 anggota) ingin melakukan pembalasan dengan menggagalkan pemilihan, maka kedua parpol  yang jumlahnya hanya 11 kursi tersebut harus bersatu dan melobi ke parpol lain agar bisa mengumpulkan paling tidak 15 orang untuk tidak hadir dalam pemilihan wawako. Jika manuver ini berhasil, maka DPRD bakal gagal melaksanakan pemilihan wakil walikota dan diupayakan agar sampai sisa waktu kurang dari 18 bulan dari masa jabatan sehingga tidak ada kesempatan mengisi wakil walikota. Dengan demikian, Walikota Harnojoyo akan “jomblo” alias sendirian sampai akhir masa jabatannya. Tentunya ini akan menimbulkan plus minus dalam mengelola dan mengendalikan roda pemerintahan dan pembangunan Kota Palembang.

Manuver kedua PDIP dan PAN yang bisa dimainkan adalah dengan  membiarkan pemilihan tetap memenuhi quorum tetapi PDIP dan PAN tidak hadir atau golput sehingga posisi yang akan diambil selanjutnya adalah dengan menempatkan diri  sebagai oposan sebagaimana yang dinyatakan Yudi calon dari PAN dan petinggi PDIP Sumsel yang menyatakan talak tiga. Situasi ini bisa agak merepotkan Walikota mengingat Ketua DPRD dari Fraksi PDIP. Meski demikian, Walikota masih bisa bernafas lega kalau hanya 12 kursi yang oposan karena sisanya akan mendukung pasangan Harnojoyo-Fitrianti.

Manuver ketiga yang bisa dimainkan PDIP dan PAN  adalah menggalang parpol lain untuk memilih Suhaili Ibrahim yang diusulkan PKS  yang kurang diperhitungkan karena hanya sekedar calon pendamping atau figuran ini bisa terpilih. Ini pun dengan catatan semua anggota Fraksi PDIP, PAN dan PKS harus kompak dan solid tidak masuk angin. Tentu kerja ini sangat berat karena harus mengumpulkan suara pendukung minimal 11 suara dari parpol lain yang kemungkinan besar sudah akan mendukung/memilih Fitrianti. Selain itu, harus diperhitungkan benar dari  sisi keuntungan politik jika memilih Suhaili,  kecuali hanya sekedar ingin membuat heboh politik dan pelampiasan kejengkelan politik saja.

Manuver dan skenario keempat yang bisa dimainkan PDIP dan PAN khususnya PDIP adalah balik kanan untuk mendukung Fitrianti dengan alasan dia juga kader PDIP  yang dibalut idealisme dan sikap kenegarawanan parpol yang lebih mementingkan kepentingan masyarakat  dan daerah daripada kepentingan kelompok sesaat dan mengumbar kemarahan balas dendam.  Tentu saja kompromi seperti ini dibutuhkan dengan catatan suasana hati yang ikhlas, sudah reda tidak marah dan  tanpa dendam. Jika PDIP melakukan manuver seperti ini memang terasa seperti menurunkan martabat parpol.  Namun, dari segi investasi sosial dan politik ke depan akan lebih menguntungkan karena PDIP akan dinilai sebagai parpol yang ksatria dan lebih mementingkan rakyat daripada kepentingan kelompok. Bukankah rasa kebangsaan itu diwujudkan dengan tindakan yang mengutamakan rakyat/bangsa?.

Apapun yang bakal terjadi dari  proses politik di DPRD Palembang dan hasilnya nanti, semua pihak harus bisa menerima beserta konsekuensinya karena sudah dilalui dengan proses yang panjang dan mekanisme yang telah disepakati bersama berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Jika dalam proses ini dirasa ada yang tidak tepat dan kurang demokratis hendaknya dijadikan catatan untuk bisa diperbaiki peraturan perundangannya sehingga dalam kasus serupa di masa depan akan bisa berproses lebih baik. Proses pemilihan wakil walikota ini tidak melibatkan  KPUD dan Bawaslu sehingga segalanya tergantung pada DPRD Kota Palembang. Oleh karena itu, proses ini harus diawasi sungguh-sungguh khususnya oleh KPK karena bukan hal yang mustahil dalam proses ini bisa terjadi politik uang dengan segala modus operandinya mengingat dalam politik tidak ada yang gratis. Sebagai warga Palembang hanya ikut berdoa semoga proses pemilihan di DPRD Palembang berjalan lancar, tertib, aman dan damai.

                                                                                                Palembang, 30 Mei 2016.

Catatan : Tulisan ini dimuat di harian Sriwijaya Post tgl 1 Juni 2016.


			




15 10 2016

 

 

PERILAKU PEJABAT PUBLIK DI ERA DEMOKRASI

Oleh: Joko Siswanto
Dosen FISIP UNSRI

Demokrasi adalah kebebasan dan persamaan yang dibatasi oleh hukum sebagai wujud kompromi agar dalam aktualisasi kebebasan dan persamaan tidak menimbulkan konflik. Selain hukum positif sebagi pembatas kebebasan yang harus dihormati, ada norma lain yang patut diperhatikan agar perilaku manusia mempunyai nilai dan makna dari sisi keadaban sehingga martabat sebagai manusia akan dihormati. Norma dimaksud adalah norma sosial atau etika sosial dan norma agama. Jika perilaku seseorang selalu dipandu dan berpedoman pada norma hukum, norma sosial dan norma agama maka kemungkinannya sangat kecil dalam berinteraksi sosial akan terjadi gesekan. Semestinya semakin tinggi status sosial seseorang (pendidikan, pekerjaan, jabatan) maka akan semakin baik dalam berperilaku, semakin terhormat dan bermartabat karena mampu menjaga dan mengendalikan diri agar tidak menyimpang dari norma-norma yang sudah seharusnya dipatuhi.

Ukuran sosial untuk melihat sikap perilaku seseorang dikatakan bermartabat dan santun jika dalam bertutur kata dan sikap perilakunya bisa menghormati pihak lain dengan memilih kata-kata dan kalimat yang tepat dan baik, nada dan irama suara yang  enak didengar, bahasa tubuh atau gerak tubuh yang menawan dilihat, sehingga semuanya memberi kesan terhormat, bermartabat, elegan dan mendapat apresiasi atau pujian sosial. Keberhasilan dan kesuksesan seringkali diawali dalam mengemas interaksi dengan pihak lain dalam wujud komunikasi yang bisa mengakibatkan pihak lain berkesan positif, terkenang di hati, dipuji, simpati dan akhirnya bisa jatuh hati atau menjadi lovers yang diwujudkan dalam bentuk sebagai pengikut, pemuja, pelanggan setia, pendukung, pemilih atau pembeli. Itulah dunia marketing yang selalu mengedepankan kesantuan dan menghormati konsumen atau pihak lain untuk menarik simpati agar mencapai sukses dalam berbisnis. Dan situasi tersebut juga berlaku dalam dunia publik yang menempatkan pejabat publik sebagai pemimpin, pelayan, pengayom, pelindung dan pamong bagi masyarakat yang sudah sepatutnya untuk selalu menebar kehangatan dan kesantunan dalam berkomunikasi dengan konsumen (rakyat) sehingga pejabat publik akan menerima pengembalian berupa simpati, hormat, kepatuhan, kesetiaan dan kewibawaan sebagai pejabat.

Etika berinteraksi dengan pihak lain tidak saja menyangkut cara berkomunikasi yang bersifat individual tetapi juga berkaitan dengan ketepatan institusi berinteraksi dengan institusi lain dilihat dari ranah struktural dan prosedural. Pejabat publik adalah representasi dari institusi yang dipimpinnya atau dimana pejabat tersebut bernaung. Pejabat publik adalah seorang figure head yang berperan bisa membawa citra baik dan buruk bagi institusinya. Suatu institusi publik atau daerah/negara akan bercitra buruk jika pejabatnya atau pemimpinnya berperilaku buruk dan sebaliknya. Bupati atau walikota yang tidak mau berkomunikasi dengan gubernur atau selalu menghindar bertemu gubernurnya adalah suatu perilaku yang tidak etis, melanggar prosedural  dan struktural. Akan dinilai janggal dan  tidak etis jika seorang kepala bagian tiba-tiba nylonong saja menghadap bupati untuk meminta tanda tangan dengan mengesampingkan asisten dan sekda. Akan dinilai tidak pantas dan tidak benar jika anggota dewan pergi ke suatu daerah kemudian di depan bupati menyatakan kedatangannya atas nama pimpinan dewan. Dinilai tidak menjunjung etika politik jika jabatan wakil kepala daerah yang kosong, yang sepatutnya diisi dari parpol tertentu yang berhak mengisinya kemudian diisi oleh calon dari parpol kendati mempunyai hak untuk mengusulkannya.

Etika politik memang tidak menyalahi norma  hukum positif. Pejabat publik yang melanggar etika politik dan atika sosial belum pasti melanggar norma hukum, akan tetapi yang melanggar norma hukum bisa dipastikan melanggar etika politik dan sosial. Yang jelas, adanya pelanggaran etika politik dan sosial bisa jadi akan  mengganggu keharmonisan dalam bermitra, mengganggu kenyamanan berkomunikasi, memunculkan persepsi buruk dan   akhirnya bisa berdampak kepada efektifitas kinerja pejabat yang bersangkutan dan berimbas kepada insitusi.

Belakangan ini banyak pejabat publik yang omongannya dan sikap perilakunya tidak mencerminkan nilai kemartabatan sebagai pejabat publik sekaligus juga melawan struktural dan tidak prosedural. Jabatannya tinggi, pendidikannya tinggi, so pasti status sosialnya tinggi tetapi omongan dan sikap perilakunya berbanding terbalik dengan statusnya. Omongan dan sikap perilakunya seringkali menimbulkan ketidaksenangan publik, menabur kebencian sosial dan kegaduhan/kontroversi sosial.

Kasus Setya Novanto sebagai Ketua DPR yang membawa nama lembaga tinggi negara (Presiden) dalam kasus minta saham Freeport adalah contoh nyata sebagai pejabat publik yang berinteraksi dengan membawa nama lembaga yang melawan etika, prosedural dan struktural. Contoh lain, para menteri yang saling lempar pernyataan dan saling serang melalui media sosial dan media massa sehingga menjadi kegaduhan politik merupakan perilaku yang tidak elok, tidak prosedural dan struktural serta tidak menjunjung tinggi etika sebagai pejabat publik. Demikian juga yang terjadi di PKS, politisi PKS yakni Fahri Hamzah yang juga Wakil Ketua DPR, diberhentikan oleh partainya dari keanggotaan dan otomatis berhenti sebagai Wakil Ketua DPR, terlepas dari kepentingan politik, konon alasannya karena dinilai oleh partainya sering kali pernyataannya, omonganya dan perilakunya dalam berinteraksi dengan pihak lain dianggap tidak santun, arogan atau tidak mencerminkan kader PKS yang ideologinya berkarakter religius-islami sehingga banyak pihak yang gerah dengan pernyataannya. Fahri Hamzah tidak terima atas pemecatan oleh partainya dan kini sedang menggungat partainya sehingga proses pemberhentian sebagai Wakil Ketua DPR belum diproses.

Contoh lain yang paling anyar adalah ada pejabat publik yang tantang menantang mengajak duel. Ada pegawai/staf Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menantang Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena  pernyataan Ahok yang berani melawan dan menyalahkan BPK. Semarah apa pun dan sekesal apa pun staf BPK (tentu PNS/ASN) tersebut marah dan kesal dengan Ahok tetap tidak patut, tidak etis, tidak benar dan tidak prosedural.

Ahok sebagai pejabat publik adalah yang paling kontroversi menjadi perbincangan sosial karena sering berkomunikasi dan membuat pernyataan yang dinilai arogan, tidak santun, pemarah, tidak mampu mengontrol emosi, berani melawan menteri dan predikat negatif lainnya. Perilaku dan tutur kata yang dinilai buruk tersebut sudah diingatkan oleh atasannya (wakil presiden), tetapi masih juga tidak berubah dan tidak diindahkan. Itulah karakter bawaan Ahok. Kendatipun dalam berkomunikasi dinilai banyak minusnya, di sisi lain Ahok juga dikenal sebagai gubernur yang dinilai jujur, berani melawan ketidakbenaran dan kemaksiatan, tegas, mampu membangun sistem tata kelola pemerintahan yang berazaskan good governance dan berani mengambil keputusan yang strategis kendati tidak populer demi masa depan Jakarta dan masyarakatnya yang lebih baik. Sikap perilaku Ahok dalam berkomunikasi yang dinilai melanggar norma ketimuran dan dalam menaggapi kasus RS Sumber Waras dan kasus reklamasi pantai utara Jakarta yang dinilai kelewatan karena menantang menteri, bisa menjadi nilai buruk dan menurunkan citra bagi Ahok sebagai calon gubernur terkuat saat ini untuk Pilgub DKI 2017.

Mengapa pejabat publik di era demokrasi saat ini kurang memperhatikan etika dalam berinteraksi dengan pihak lain?. Pada masa orde baru yang otoritarian hampir tidak dikenal dan tidak ada berita  pejabat publik yang berbicara semaunya sendiri seperti lepas kendali, dan juga tidak ada pejabat publik yang mbalelo atau berani melawan atasannya. Pejabat publik di era orde baru dari presiden, gubernur, bupati/walikota, camat sampai kades/lurah, para menteri, pejabat struktural di birokrasi dan anggota dewan memberi kesan lebih berwibawa, lebih disegani dan lebih dihormati masyarakat dibanding pejabat publik di era sekarang/demokrasi.

Di kala itu ada semacam etika dan aturan yang tidak tertulis yang dipatuhi dan dijalankan oleh pejabat publik bahwa pejabat publik kalau bicara harus hati-hati dan tidak sembarangan membuat pernyataan karena dampaknya bagi masyarakat sangat luas. Kalau tidak penting dan bukan wewenangnya untuk berbicara maka akan lebih bersikap diam atau no comment.

Malahan bagi pejabat publik yang menganut budaya jawa akan berpegang teguh kepada ungkapan yang berbunyi  sabda pandhita ratu, datan kena wola-wali artinya ucapan raja itu seperti ucapan resi, suhu, kyai, ulama yang dijadikan pedoman atau hukum yang mengandung nilai kebijaksanaan yang sangat tinggi sehingga akan ditaati rakyatnya. Jadi, raja tidak perlu banyak omong, cukup sekali (datan wola wali) tetapi manjur untuk mengatur pemerintahan. Dengan sedikit bicara banyak bekerja maka pejabat publik yang seperti raja akan disegani, dihormati dan berwibawa di mata rakyat. Itulah sebabnya para pembesar biasanya lebih banyak diam, tidak bicara jika tidak amat penting, demi menjaga wibawa dan kredibilitas. Tidak banyak bicara juga bisa mencegah terjadinya konflik dan salah pengertian. Diam itu emas dari pada bicara tidak ada manfaatnya.

Pada masa orde baru pun bawahan akan selalu bersikap sendiko dhawuh atau selalu siap menjalankan tugas sebagaimana yang terjadi dalam kultur militer dan polisi. Di kala itu tidak ada  bupati/walikota berani dengan gubernur dan melawan perintah gubernur. Pada waktu orde baru semua yang menjadi kepala daerah adalah militer dan birokrat sehingga kultur kesantunan sebagai pejabat publik sudah terbentuk. Demikian juga yang menjadi anggota dewan yang didominasi Golkar umumnya berlatar belakang birokrat dan militer. Tidak ada waktu itu anggota dewan saling tonjok dan nggebrak meja serta mencaci maki pimpinan dewan dan menjungkirkan meja. Terlepas dari sistem politik yang otoriter kala itu berpengaruh atau tidak, yang pasti etika pejabat publik di era orde baru jauh lebih baik, lebih santun dalam berbicara dan berperilaku daripada pejabat di  era demokrasi sekarang ini karena mayoritas pejabat publik/politik berlatar belakang birokrat dan militer/polisi.

Di era demokrasi ini, berdasarkan pengamatan penulis dan ini masih berupa hipotesis yang perlu pembuktian di lapangan, bahwa pejabat publik khususnya pejabat politik seperti kepala daerah dan anggota dewan, yang kurang mengindahkan etika politik dan etika sosial pada umumnya berasal dari kalangan yang latar belakang profesinya non birokrasi dan non militer/polisi. Kepala daerah dan/atau anggota dewan yang berlatar belakang pernah menjadi birokrat atau bekerja di lingkungan birokrasi pemerintahan atau berlatar belakang militer/polisi pada umumnya bisa lebih tampil elegan, santun dan menjunjung tata krama dalam berinteraksi antar sesama pejabat dan institusi. Hal ini dikarenakan para birokrat dan militer/polisi telah ditempa melalui pengalaman panjang mengurus kepentingan publik dan dibekali dengan pendidikan kepemimpinan berjenjang yang di dalamnya antara lain ada materi tentang etika pemerintahan atau administrasi negara.  Apalagi di kalangan militer/polisi sangat ditekankan etika dan selalu siap dalam segala tindakan dalam berinteraksi dengan pihak lain. Kalangan birokrat dan militer sudah terbiasa dijejali dengan aturan dan disiplin dalam menjalankan tugasnya dalam melayani kepentingan publik sehingga perilaku santun sebagai pelayan publik sudah menjadi hidupnya yang dijalani sehari-hari.

Kondisi ini sangat berbeda dengan yang berlatar belakang non birokrasi dan non militer/polisi yang tiba-tiba menjadi pejabat publik seperti kepala daerah dan anggota dewan yang bekal pengalaman dan pendidikan di bidang pemerintahan tidak cukup sehingga yang muncul adalah sikap dan perilaku yang dinilai keluar dari tradisi yang sepatutnya dilakukan pejabat publik. Hal ini karena terjadi kegagapan dan kegamangan diri sebagai pejabat publik yang sebelumnya nol pengalaman dan pendidikan dalam pemerintahan sehingga kemungkinan yang terjadi adalah tidak berani berbuat apa-apa atau sebaliknya bertindak ngawur atau   mumpung menjadi pejabat publik. Kondisi inilah yang menjadikan salah satu kemungkinan sebagai faktor banyak kepala daerah dan anggota dewan yang bukan berlatar belakang non birokrat dan non milter/polisi terjerat korupsi dan perbuatan tercela atau tidak santun. Tentu tidak semua seperti ini.

Ke depan untuk mencegah agar pejabat publik bisa mengedepankan etika dalam berinterkasi dengan pihak lain, baik sebagai individu maupun institusi, maka pemerintah tidak sekedar membuat peraturan kode etik bagi pejabat publik tetapi juga diberi pembekalan/pendidikan yang cukup dalam hal etika berinteraksi dengan pihak lain secara santun, elegan, terhormat sehingga dirinya pun akan dihormati dan disegani oleh pihak lain. Tentu,  perlu ada sanksi yang tegas bagi yang melanggar kode etik pejabat publik.

Akhirnya, demokrasi bukan arena kebebasan untuk mengumbar arogansi diri dalam berbicara dan bertindak, akan tetapi arena ujian bagaimana kita berbicara dan bersikap yang bermartabat, arena menguji kesantuan berinteraksi dengan pihak lain. Menguji iman seseorang bukan di tempat ibadah dan di tempat yang baik-baik, tetapi ujilah di arena publik yang banyak  kemaksiatan. Menguji kesantunan bukan di tempat yang banyak larangan tetapi ujilah di tempat yang banyak kebebasan. Di situlah kehormatan, harkat dan martabat seseorang akan terlihat.  Dan ternyata, kesantuan diri tidak dipengaruhi apakah sistem politik itu otoriter atau demokratis, tetapi dipengaruhi oleh tingkat kemampuan dalam mengendalikan diri yang dilandasi oleh akhlak mulia dan kesolehan hati.

Semoga pejabat publik di wilayah Sumsel bisa menjadi pejabat publik yang santun, ramah, elegan, bermartabat dan berwibawa dalam melayani rakyat.

Palembang, 16 April 2016.

Catatan: Tulisan ini dimuat di Harian Sriwijaya Post, 19 April 2016