DINAMIKA PEMILIHAN WAWAKO PALEMBANG
Oleh: Joko Siswanto osen FISIP UNSRI
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD pada dasarnya telah tamat sejak pilkada dipilih langsung oleh rakyat yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun demikian, masih ada wewenang yang dimiliki DPRD untuk memilih wakil kepala daerah dan pasangan kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 108 sebagai berikut : ayat (1) dalam hal calon wakil kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah; ayat (2) kepala daerah sebagaimana dimaksud ayat (1) mengusulkan dua calon wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih; ayat 3) dalam hal kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon wakil kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah; ayat (4) kepala daerah sebagaimana dimaksud ayat (3) mengusulkan dua calon kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih; dan ayat (5) dalam hal pasangan calon terpilih berhalangan tetap, partai politik atau gabungan parpol yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu 60 (enam puluh) hari.
Ketentuan pasal 108 tersebut diatur lebih rinci dalam aturan pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah RI Nomor 49 tahun 2008 tentang Perubahan atas PP Nomor 6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah. Dalam PP tersebut yakni pasal 97 ayat (3) menegaskan bahwa dua calon wakil kepala daerah yang diusulkan kepala daerah ke DPRD untuk dipilih adalah usulan dari parpol atau gabungan parpol yang pasangannya memenangkan pilkada; atau jika kepala daerah berasal dari calon perseorangan, maka kepala daerah mengusulkan dua nama untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD (ayat 3a).
UU Nomo 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah tidak berlaku yang digantikan oleh UU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU Nomor 2 tahun Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah menjadi Undang-Undang. UU Pemerintah Daerah tersebut mengalami perubahan kembali dengan UU No 9 tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2014. Tetapi khusus untuk pemilihan kepala daerah telah diatur dengan UU tersendiri yakni dengan UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi UU.
Dalam UU tersebut, DPRD juga masih diberi wewenang memilih pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah jika berhalangan tetap sebagaimana diatur dalam pasal 174 dan pasal 176. Perbedaan yang menonjol adalah jika dalam UU Nomo 32 Tahun Tahun 2004 wakil kepala daerah yang akan dipilih oleh DPRD diusulkan parpol pengusung kemudian kepala daerah memilih dua calon kepala daerah, sedangkan dalam UU No 8 tahun 2015 tidak dinyatakan dengan tegas jumlah calon wakil kepala daerah yang diusulkan oleh parpol untuk calon wakil kepala daerah. Harapannya hal-hal tersebut akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah sebagaimana ketentuan pasal 176 ayat (3).
Sayang, fakta menunjukkan bahwa sampai sekarang PP dimaksud belum keluar sehingga kondisi ini menjadikan DPRD Kota Palembang mengalami kebimbangan dan kebuntuhan dalam mencari landasan hukum dan prosesnya menjadi panjang karena DPRD harus berkonsultasi berkali-kali dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mencari dasar pijakan yang kuat. Hasilnya, jika aturan baru belum ada maka aturan lama bisa dijadikan dasar bertindak DPRD untuk menyusun tata tertib pemilihan calon wakil walikota.
Kini proses pemilihan wakil walikota tinggal melaksanakan pemilihan/voting oleh DPRD. Suka atau tidak suka dua calon telah dipilih oleh Walikota sebagai calon wakil walikota dari empat bakal calon. Dua calon wakil walikota dimaksud adalah Fitrianti Agustinda kader PDIP yang duduk sebagai anggota DPRD Kota Palembang yang diusulkan Fraksi PKS dan PPP, Suhaili Ibrahim diusulkan oleh Fraksi PKS. Jauh-jauh hari sebelumnya telah didaftarkan Yudha Rinaldi yang diusulkan Fraksi PDIP dan Yudi Farola Bram yang diusulkan Fraksi PAN. Hanya Fraksi Demokrat sebagai parpol pengusung pasangan kepala daerah terpilih yang tidak mengusulkan nama calon wakil kepala daerah.
Untuk menentukan dua nama tersebut di atas, tentu bukan pekerjaan mudah bagi Walikota Harnojoyo karena banyak hal yang dipertimbangkan, harus memikirkan, melihat berbagai kepentingan secara jeli, kalkulasi untung rugi dari sisi kepentingan politik saat ini dan mendatang, kepentingan sebagai pribadi dan walikota yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, wajar jika ada yang berpendapat Walikota lambat dalam mengambil keputusan untuk itu.
Tampaknya dan gejalanya, Harnojoyo sebagai walikota tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh Romi Herton yang masih berperan besar dan berpengaruh sangat kuat dalam pelaksanaan pemerintahan dan politik di Kota Palembang. Walikota Harnojoyo sebagai manusia dan pribadi tentu ada perasaan hutang budi, kasihan dan merasa tidak etis jika tidak bisa berbuat sesuatu untuk Romi Herton yang saat ini sedang menjalani hukuman. Sedangkan dirinya bisa menikmati kursi walikota karena ajakan dan dampak dari tindakan Romi Herton. Beban psikologis Harnojoyo tidak akan berkurang manakala belum bisa memberi sesuatu sebagai bentuk balasan. Kesempatan terbaik untuk balas budi politik dan pribadi hanya bisa dilakukan saat ini dengan memilih dua calon wakil walikota yang salah satunya adalah Fitrianti Agustinda anggota DPRD Fraksi PDIP yang tidak lain adalah adik kandung Romi Herton.
Alasan pribadi dan politik balas budi tersebut aromanya sangat kuat sehingga bisa mematahkan alasan kelembagaan yakni dengan tidak meloloskan Yudha Rinaldi yang sejak awal sudah diusulkan oleh PDIP yang disetujui dan direstui Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Lazimnya dan biasanya, calon apapun khususnya calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang telah mendapat restu dan perintah dari Ketua Umum PDIP, lebih-lebih saat ini PDIP sebagai parpol pemerintah, tidak ada yang berani menolak. Tetapi kali ini seorang Harnojoyo berani melawan keputusan Megawati. Hal ini bisa diterjemahkan bahwa Romi Herton lebih berpengaruh dan lebih bermakna bagi Walikota Harnojoyo daripada Ketua Umum PDIP.
Kemudian dari sisi demokrasi yang menghargai suara mayoritas juga kurang diperhatikan. Kursi PDIP yang jumlahnya 9 anggota (kursi) mencerminkan dukungan masyarakat ke PDIP adalah paling besar dibandingkan partai pengusung lainnya seperti PAN (3 kursi), PKS (3 kursi) dan PPP (2 kursi). Dengan demikian jika usulan calon wakil walikota dari PDIP diabaikan oleh Walikota bisa dimaknai bahwa Walikota telah mengabaikan mayoritas aspirasi masyarakat parpol pengusung.
Dengan demikian, kesan politik yang terbangun sangat kuat adalah bahwa Harnojoyo lebih mengutamakan tetap bisa menjalin hubungan baik secara pribadi dan politik dengan Romi Herton daripada kelembagaan dengan PDIP. Kendati untuk memperkuat alasan memilih Fitrianti karena dia toh juga kader PDIP, tetapi Fitrianti secara legal formal kelembagaan tidak diusulkan oleh PDIP. Dengan demikian, alasan ini dinilai kurang kuat dan cenderung sebagai sanggahan sekedar upaya untuk pembenaran keputusannya.
Sedangkan Suhaili Ibrahim yang dipilih sebagai calon wakil walikota oleh Walikota karena kemungkinan parpol pengusul dan yang bersangkutan bersedia untuk menjadi calon pendamping. Kehadiran calon dari PKS ini tidak bisa dibantah hanya untuk memenuhi kelengkapan persyaratan peraturanperundangan adanya dua calon. Jadi, Walikota mengusulkan Fitrianti dan Suhaili akan lebih menguntungkan secara politik dan pribadi daripada memilih Fitrianti dan Yudha atau Yudi apalagi meloloskan Yudha dan Yudi. Dengan model proses pencalonan seperti ini maka calon yang dinilai kuat dan diusung parpol pemenang dapat dikatakan kalah sebelum bertanding.
Jika dikaitkan dengan pilkada mendatang, hal yang dijadikan pertimbangan Harnojoyo memilih Fitrianti adalah jika wakil walikota yang terpilih Fitrianti maka Walikota Harnojoyo akan lebih bisa mengendalikan Fitrianti daripada jika Yudha atau Yudi yang terpilih. Posisi wakil walikota berpeluang besar untuk maju dalam pilkada mendatang. Dengan posisi wakil walikota yang demikian strategis, maka Harnojoyo sudah memberi kesempatan kepada Fitrianti kalau ingin maju dalam pilkada mendatang. Hal ini bisa diterjemahkan sebagai upaya berbuat baik kepada Romi Herton. Seandainya Harnojoyo sendiri yang akan maju, maka masih bisa berpasangan dengan Fitrianti. Hal ini akan berbeda jika ia memilih Yudha atau Yudi yang diusulkan sebagai calon wakilnya yang kemungkinan besar bisa menjadi kompetitornya, ibarat memelihara anak macan. Lebih baik Yudha dan Yudi dikalahkan sebelum bertanding karena Walikota memang ada kewenangan untuk itu. Dalam dunia peperangan ada ungkapan jika musuh atau yang dianggap musuh bisa dihancurkan di laut kenapa harus menunggu sampai daratan.
Suka atau tidak suka tentang keputusan yang diambil Walikota, yang jelas tugas Walikota mengusulkan dua nama ke DPRD untuk dipilih sudah selesai. Sekarang bola panas sudah bergulir ke DPRD. Tinggal menunggu sikap dan eksekusi DPRD. Untuk itu, ada beberapa skenario atau lebih tepat manuver dan dinamika yang bisa terjadi dalam proses pemilihan wawako oleh DPRD Palembang. Skenario atau manuver akan dikendalikan parpol yang kecewa karena calonnya gagal dipilih sebagai calon yakni PDIP dan PAN. Dalam dunia politik umumnya pantang mengalah dan kekalahan harus bisa dibalasnya.
Skenario yang akan dimainkan adalah berupaya agar pemilihan bisa gagal. Ketentuan peraturan perundangan khususnya dalam PP Nomor 49 tahun 2008 pasal 98 ayat (2) dinyatakan bahwa pemilihan yang dilakukan dalam rapat paripurna DPRD harus dihadiri ¾ (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD. Jumlah anggota DPRD Palembang adalah 50 orang anggota. Dengan demikian agar bisa memenuhi quorum harus hadir 38 orang anggota. Jika tidak terpenuhi maka batal dilaksanakan pemilihan.
Dasar pemikiran munculnya skenario ini karena PDIP dan PAN sangat kecewa calonnya gagal dipilih Walikota sebagai calon wakil walikota. PDIP sangat kecewa berat karena calon yang sudah disetujui Ketua Umum diabaikan oleh Walikota dan Walikota lebih memilih kader PDIP yang tidak diusulkan oleh PDIP tetapi malah yang diusulkan oleh parpol lain. Harga diri PDIP sebagai parpol penguasa dilecehkan. Wajar jika PDIP marah, gerah dan meradang. Dalam dunia politik pada umumnya tidak mengenal memaafkan jika belum bisa melakukan pembalasan dan perlawanan atau ada kompromi-kompromi lainnya. Jika PDIP (8 orang, mestinya 9 dikurangi Fitrianti) dan PAN (3 anggota) ingin melakukan pembalasan dengan menggagalkan pemilihan, maka kedua parpol yang jumlahnya hanya 11 kursi tersebut harus bersatu dan melobi ke parpol lain agar bisa mengumpulkan paling tidak 15 orang untuk tidak hadir dalam pemilihan wawako. Jika manuver ini berhasil, maka DPRD bakal gagal melaksanakan pemilihan wakil walikota dan diupayakan agar sampai sisa waktu kurang dari 18 bulan dari masa jabatan sehingga tidak ada kesempatan mengisi wakil walikota. Dengan demikian, Walikota Harnojoyo akan “jomblo” alias sendirian sampai akhir masa jabatannya. Tentunya ini akan menimbulkan plus minus dalam mengelola dan mengendalikan roda pemerintahan dan pembangunan Kota Palembang.
Manuver kedua PDIP dan PAN yang bisa dimainkan adalah dengan membiarkan pemilihan tetap memenuhi quorum tetapi PDIP dan PAN tidak hadir atau golput sehingga posisi yang akan diambil selanjutnya adalah dengan menempatkan diri sebagai oposan sebagaimana yang dinyatakan Yudi calon dari PAN dan petinggi PDIP Sumsel yang menyatakan talak tiga. Situasi ini bisa agak merepotkan Walikota mengingat Ketua DPRD dari Fraksi PDIP. Meski demikian, Walikota masih bisa bernafas lega kalau hanya 12 kursi yang oposan karena sisanya akan mendukung pasangan Harnojoyo-Fitrianti.
Manuver ketiga yang bisa dimainkan PDIP dan PAN adalah menggalang parpol lain untuk memilih Suhaili Ibrahim yang diusulkan PKS yang kurang diperhitungkan karena hanya sekedar calon pendamping atau figuran ini bisa terpilih. Ini pun dengan catatan semua anggota Fraksi PDIP, PAN dan PKS harus kompak dan solid tidak masuk angin. Tentu kerja ini sangat berat karena harus mengumpulkan suara pendukung minimal 11 suara dari parpol lain yang kemungkinan besar sudah akan mendukung/memilih Fitrianti. Selain itu, harus diperhitungkan benar dari sisi keuntungan politik jika memilih Suhaili, kecuali hanya sekedar ingin membuat heboh politik dan pelampiasan kejengkelan politik saja.
Manuver dan skenario keempat yang bisa dimainkan PDIP dan PAN khususnya PDIP adalah balik kanan untuk mendukung Fitrianti dengan alasan dia juga kader PDIP yang dibalut idealisme dan sikap kenegarawanan parpol yang lebih mementingkan kepentingan masyarakat dan daerah daripada kepentingan kelompok sesaat dan mengumbar kemarahan balas dendam. Tentu saja kompromi seperti ini dibutuhkan dengan catatan suasana hati yang ikhlas, sudah reda tidak marah dan tanpa dendam. Jika PDIP melakukan manuver seperti ini memang terasa seperti menurunkan martabat parpol. Namun, dari segi investasi sosial dan politik ke depan akan lebih menguntungkan karena PDIP akan dinilai sebagai parpol yang ksatria dan lebih mementingkan rakyat daripada kepentingan kelompok. Bukankah rasa kebangsaan itu diwujudkan dengan tindakan yang mengutamakan rakyat/bangsa?.
Apapun yang bakal terjadi dari proses politik di DPRD Palembang dan hasilnya nanti, semua pihak harus bisa menerima beserta konsekuensinya karena sudah dilalui dengan proses yang panjang dan mekanisme yang telah disepakati bersama berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Jika dalam proses ini dirasa ada yang tidak tepat dan kurang demokratis hendaknya dijadikan catatan untuk bisa diperbaiki peraturan perundangannya sehingga dalam kasus serupa di masa depan akan bisa berproses lebih baik. Proses pemilihan wakil walikota ini tidak melibatkan KPUD dan Bawaslu sehingga segalanya tergantung pada DPRD Kota Palembang. Oleh karena itu, proses ini harus diawasi sungguh-sungguh khususnya oleh KPK karena bukan hal yang mustahil dalam proses ini bisa terjadi politik uang dengan segala modus operandinya mengingat dalam politik tidak ada yang gratis. Sebagai warga Palembang hanya ikut berdoa semoga proses pemilihan di DPRD Palembang berjalan lancar, tertib, aman dan damai.
Palembang, 30 Mei 2016.
Catatan : Tulisan ini dimuat di harian Sriwijaya Post tgl 1 Juni 2016.